a. Citizen journalism vs professional journalism
Tak bisa dipungkiri lagi jika teknologi sudah menjadi bagian hidup manusia dalam berbagai bidang. Penggunaan teknologi sudah menjadi hal biasa dan bahkan tanpa kita sadari, teknologi sudah menjadi salah satu kebutuhan manusia yang paling mendasar. Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, berbagai kemudahan dalam hidup bisa diperoleh dengan mudah. Tidak terkecuali dengan kemudahan dalam kegiatan jurnalisme.
Bisa dibayangkan kegiatan jurnalisme pada zaman sekarang ini tanpa menggunakan teknologi. Lalu bagaimana dengan dengan masa depan? Apakah kemudahan atau justru kemunduran yang didapatkan?
Jika teknologi digital sudah berkembang sangat pesat sekarang ini, apalagi sepuluh tahun mendatang. Bisa dipastikan jika dunia digital akan sedikit mengusai atau mungkin menguasai sepenuhnya dunia jurnalisme. Hal tersebut sangatlah mungkin mengingat teknologi di bidang komunikasi tengah berada di barisan depan dalam perkembangan teknologi saat ini.
Jika di era ’90-an internet mulai berkembang dan dikenal luas oleh masyarakat, maka di era sekarang dunia digital mulai memperlihakan pengaruh yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat sebagai kebutuhan sehari-hari. Jika dilihat dari cepatnya perkembangan suatu teknologi sejak dua puluh tahun ke belakang, dunia komunikasi sepuluh tahun mendatang akan menjadi dunia yang benar-benar bergantung kepada teknologi digital.
Hampir bisa dipastikan jika dunia akan mulai memakai berbagai media yang berbentuk digital. Seperti yang kita ketahui jika i-pad sudah siap untuk diluncurkan secara massal. Bisa diyangkan jika sepuluh tahun mendatang alat ini sudah menjadi barang yang tidak asing lagi. Sama halnya dengan handphone yang bisa melakukan sambungan internet. Sepuluh tahun lalu hanphone yang bisa melakukan sambungan ke internet masih dianggap sebagai barang mewah. Namun sekarang, itu bukan barang baru lagi, bahkan hanphone seperti itu sudah bisa didapat dengan harga kurang dari Rp 1 juta. Ada juga majalah berbentuk digital yang sudah ada dan akan segera dipasarkan.
Untuk Indonesia, hal-hal yang menjurus ke arah sana mungkin sudah ada, namun tampaknya teknologi digital masih belum menguasai secara penuh. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan dan SDM di Indonesia yang tampaknya masih sulit meningkat secara signifikan sepuluh tahun mendatang. Namun, bukan tidak mungkin dua puluh sampai tiga puluh tahun ke depan Indonesia akan bernasib sama dengan negara-negara maju di dunia yang akhirnya bergantung kepada teknologi digital. Dengan kata lain, industri-industri percetakan akan semakin meredup atau mungkin punah. Namun, di Indonesia tampaknya industri cetak masih akan berlangsung cukup lama walaupun bukan tidak mungkin akan hilang tersapu oleh gelombang digital.
Dalam dunia jurnalisme, tentu saja hal ini akan sangat membantu. Tetapi di sisi lain, ada hal-hal negatif yang bisa saja ditimbulkan oleh ketergantungan kegiatan dunia jurnalistik terhadap teknologi digital. Jika kita lihat dari segi positifnya, tentu saja prosen pencarian fakta akan lebih mudah. Proses pencarian bisa saja dilakukan secara digital atau melakukan wawancara tanpa tatap muka langsung. Hal ini tentu saja akan mempercepat proses kerja wartawan. Namun di sisi lain, timbul pertanyaan apakah orang-orang yang hanya duduk di suatu tempat di depan layar komputer masih bisa disebut wartawan? Apakah sumber-sumber yang mereka dapatkan benar-benar kredibel? Pertanyaan-pertanyaan seperti akan terus muncul.
Nah, dengan semakin berkembangnya citizen journalism, jarak antara wartawan dengan masyarakat biasa di tengah terpaan teknoli digital sepertinya menjadi tidak jelas. Seperti yang kita ketahui, wartawan dituntut untuk selalu bertindak secara profesional, namun dengan adanya kemudahan di bidang teknologi profesionalisme wartawan menjadi hal yang patut untuk dipertanyakan. Jika hanya dengan browsing di internet ataupun mencari sumber dengan menggunakan teknologi yang sangat canggih yang bisa memudahkan segalanya, lalu apa bedanya jurnalisme profesional dengan citizen journalism?
b. Media Sosial dan Jurnalisme
Berbagai media sosial atau yang lebih dikenal sebagai situs jejaring sosial sudah tidak asing lagi di telinga, apalagi anak muda. Belum dianggap gaul jika belum memiliki account di situs jejaring sosial yang ada. Facebook dan twitter saat ini menjadi yang terdepan dalam barisan situs jejaring sosial di Indonesia setelah mulai meredupnya friendster.
Tanpa disadari, situs-situs jejaring sosial tersebut sudah menjadi bagian hidup yang sulit untuk dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Komunikasi interpersonal sudah digantikan dengan komunikasi melalui dunia maya melalui chatting. Tentu saja ini menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan karena komunikasi interpersonal sangat penting bagi manusia.
Dalam dunia jurnalisme, penggunaan media sosial dalam proses jurnalisme sudah tidak asing lagi. Saat ini mau tidak mau para wartawan harus memiliki situs jejaring sosial. Bukan hanya untuk bergaya dan mencari teman ngobrol saja, tetapi juga sebagai channel untuk sumber-sumbernya. Dalam hal ini, jejaring sosial memegang peranan yang sangat penting karena tidak sedikit narasumber yang hanya bisa “ditemui” di situs jejaringnya dan hanya mau melakukan wawancara di sana.
Banyak sekali keuntungan yang bisa diperoleh dari media sosial bagi dunia jurnalisme. Yang pertama adalah dari kemudahan mendapatkan informasi. Wartawan tidak perlu jauh-jauh datang ke lokasi suatu peristiwa untuk mengetahui detail-detail peristiwa tersebut karena situs jejaring sosial seperti twitter biasanya dapat memberikan informasi dengan cepat, bahkan lebih cepat dari situs-situs berita online. Selain itu juga, media sosial bisa menekan biaya pencarian berita. Wartawan tinggal duduk dan mencari melalui internet informasi yang ingin ia dapatkan anpa harus mengeluarkan banyak biaya untuk mencari informasi langsung ke lapangan.
Namun, tidak sedikit dampak negatif yang bisa ditimbulkan media sosial dalam kegiatan jurnalisme. Dengan mudahnya melakukan wawancara secara online tanpa harus bertatap muka, tentu saja kebenaran dari wawancara tersebut diragukan. Selain itu, bisa saja kita seorang wartawan mewawancarai orang yang salah karena tidak melihat wajahnya secara langsung. Kualitas dari wawancara pun bisa jadi kurang baik karena dilakukan dalam suasana yang tidak tepat sehingga narasumber mungkin malas untuk menjawab dengan komprehensif dan hanya menjawab dengan singkat saja. Kemudian dengan berkembangnya citizen journalism, perbedaan antara wartawan dengan masyarakat biasa yang menulis informasi di media sosial tampaknya tidak ada.
Dengan adanya media sosial tersebut, kredibilitas seorang wartawan menjadi patut untuk dipertanyakan karena kemampuan mereka sebagai wartawan tidak teruji dengan baik akibat dari berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh media sosial dan teknologi yang ada. Hal tersebut harusnya menjadi perhatian para jurnalis untuk lebih bijak lagi dalam menggunakan media sosial sebagai sumber untama untuk mencari fakta. Berbagai kemudahan yang diterima oleh wartawan bisa saja menjadikan wartawan tersebut menjadi tumpul dan kurang kritis dalam menghadapi suatu masalah.
Walaupun begitu, sudah tidak bisa disangkal lagi jika perkembangan media sosial akan terus maju. Oleh karena itu, para jurnalis dituntut untuk bijaksana dalam menyikapi perkembangan teknologi yang ada agar profesionalisme mereka tetap terjaga. Semuanya tergantung dari para jurnalis. Siap atau tidak, masa depan sudah datang.
Oleh:
Tiara Syahra Syabani (210110080264)
Lucky Leonard (210110080276)